Senin, 02 Februari 2015

Selingan Indah Sepakbola di Hari Natal & Perang Dunia

Selingan Indah Sepakbola di Hari Natal & Perang Dunia
Pada malam natal 1915, di desa Laventie di utara Prancis, dua kubu serdadu dari Inggris dan Jerman yang saling berhadapan dalam jarak dekat mendekam di parit pertahanannya masing-masing. Tak ada pohon natal, tak ada kalkun panggang. Lantas terjadilah satu selingan pendek yang menyentuh dalam lembaran sejarah Perang Dunia I itu: salah seorang dari mereka — mulanya dengan suara lirih — menyanyikan lagu natal, lalu ada yang iseng menyapa. Lalu, ya, lalu… mereka semua bermain bola!
Bertie Felstead, serdadu Inggris sekaligus saksi mata peristiwa yang masih sempat merasakan udara abad-21, memberi kesaksian yang menyentuh. Katanya:
“Kami dipisahkan oleh jarak yang hanya sekitar 100 yard saat pagi hari Natal itu tiba. Seorang serdadu Jerman menyanyikan lagu All Through the Night, lalu para serdadu Inggris membalasnya dengan manyanyikan lagi Good King Wencelas. Pagi berikutnya, para serdadu saling menyapa. Hello Tommy… Hello Fritz. Serdadu Jerman yang memulai, mereka keluar dari paritnya dan berjalan menghampiri kami. Tak ada yang memerintahkan, tapi kami semua memanjat dinding pembatas dan bergabung dengan mereka. Beberapa dari mereka menghisap cerutu sekaligus menawari kami cerutu. Kami juga menawarkan sebagian dari yang kami miliki. Lalu kami mengobrol. Kami berbicara dengan bahasa campur aduk. Ada yang bicara dalam Inggris, Jerman, dan Prancis… sisanya dengan bahasa isyarat. Kami semua tidak takut ditembak karena kami semua telanjur berbaur satu sama lain.”
Felstead tidak terlalu ingat lagi bagaimana bola yang dimainkan itu muncul. Tiba-tiba saja semua sudah berebutan bola. Ini bukan jenis pertandingan normal dengan seperangkat peraturan resmi yang ditaati satu sama lain. Mereka bermain begitu saja. “Saya masih ingat bagaimana salju teracak-acak. Tidak ada yang menjaga gawang,” kenang Felstead yang wafat pada 22 Juli 2001.
Kata Felstead lagi, permainan sepakbola di antara dua kubu yang berseteru itu berlangsung hanya sekitar 30 menit.Lalu muncul suatu hiruk pikuk di antara mereka, disusul teriakan keras dari seorang perwira Inggris — ya, teriakan yang sangat keras dalam pengertian denotasi maupun konotasi: “You came out to fight the Huns, not to make friends with them.”
Tentu saja ini bukan satu-satunya “gencatan senjata spontan” antara Jerman dan Inggris pada Perang Dunia I. Pada 24 Desember 1914, terjadi “gencatan senjata spontan” di sekitar Ypres, Belgia. Lagi-lagi tentara Jerman yang memulai dengan mendekorasi façade parit perlindungan mereka dengan memasang lilin-lilin sembari menyanyikan lagu-lagu natal (adakah yang lebih puitis dari ini dalam adegan perang yang sesungguhnya, kawan?). Pihak Inggris menanggapinya dengan menyanyikan lagu-lagu mereka sendiri. Lalu satu sama lain saling mengucapkan salam natal. Tak hanya itu, satu sama lain lantas bertukar hadiah natal: ada yang berupa makanan kecil, cerutu, alkohol dan beberapa souvenir kecil seperti topi.
Gencatan serupa juga terjadi di beberapa tempat, beberapa bahkan berlanjut hingga momen perayaan tahun baru. Akhirnya kabar itu pun sampai ke telinga Jenderal Sir Horace Smith-Dorrien, komandan pasukan British Corps II. Dia bukan hanya marah, tapi juga mengeluarkan perintah yang melarang segala jenis komunikasi yang berlangsung secara ilegal dengan pihak Jerman.
Tapi setiap Jenderal memang tak mungkin bisa menjangkau dan mendengar suara hati para serdadu yang mesti mendekam di parit pertahanannya sepanjang malam di hari natal, saat orang-orang sedang berkumpul di depan perapian bersama keluarga terdekat dengan kalkun panggang yang besar nan lezat, saat musim dingin sedang hebat-hebatnya. Dengarlah bagaimana suasana dan suara hati Felstead saat ia mendengar lagu-lagu natal itu terbantun perlahan: “Mustahil perasaan Anda tidak tersentuh saat mendengarkan satu sama lain saling bernyanyi dalam situasi seperti itu.”
Lalu mereka pun berbagi kegembiraan dengan bermain bola, sebelum seorang perwira Inggris berteriak keras: “You came out to fight the Huns, not to make friends with them.”
Teriakan itu bukan hanya menghentikan permainan sepakbola, tapi menghempaskan para serdadu ke bumi yang keras dan menuntut terlalu banyak itu, mengkandaskan kegembiraan sederhana yang baru mereka nikmati hanya selama 30 menit itu. Pada akhirnya, mereka kembali ke parit pertahanannya masing-masing, kembali tiarap dan mengokang senjata dan menanti aba-aba untuk segera menghamburkan kembali peluru ke arah orang-orang yang beberapa waktu sebelumnya berbagi cerutu dan bermain bola sama-sama dengan mereka.
Teriakan keras tanpa kompromi perwira Inggris itu, juga sikap keras dan tanpa kompromi Jenderal Sir Horace Smith-Dorrien, adalah bukti tak terbantah bahwa perang tetap saja perang: barangkali dalam perang akan ada – pasti selalu ada — selingan-selingan pendek yang menyentuh sudut-sudut terdalam kemanusiaan, tapi darah dan kematian toh tetap saja menjadi struktur dan plot utama sebuah peperangan.
Saya teringat kesaksian seorang serdadu Amerika yang terlibat dalam front pertempuran di Eropa pada Perang Dunia ke-2. Seperti yang saya saksikan di serial Band of Brothers, salah seorang dari mereka – kalau tak salah ingat– kira-kira berkata: “Mereka (para tentara Jerman itu) dalam banyak hal sama seperti kami. Mereka mungkin senang memancing atau berburu. Tapi mereka melakukan apa yang diperintahkan, seperti halnya saya melakukan apa yang diperintahkan. Dalam situasi bukan peperangan, kami mungkin bisa saling bersahabat.”
Tidak, tidak… tidak perlu situasi yang berbeda dari peperangan mereka bisa bersahabat. Dalam peperangan pun, sebenarnya, mereka bisa berteman, setidaknya bisa bermain bola, walau cuma 30 menit. Apa yang terjadi dengan Felstead, dkk., di pelosok desa Laventie menunjukkan bahwa itu bukan hal yang mustahil, setidaknya sejarah pernah mencatatnya, kendati barangkali hanya sekali.
Karena orang memang tak perlu apa-apa untuk bermain bola, tak perlu senjata, senapan, uang atau apa pun. Felstead sendiri – yang pada November 1998 mendapat lencana dari pemerintah Prancis– mengaku tidak banyak berpikir ketika ikut menendang-nendang bola pada natal yang tak biasa itu. Ia hanya bilang, “Saya ikut bermain karena saya memang sangat menyukai sepakbola.”
Ya, menyukai sepakbola, sebab tak perlu banyak alasan bagi seorang pecinta sepakbola jika ada bola di depannya selain menendangnya. Seperti kata Socrates, ini bukan Socrates yang filsuf itu tapi kapten timnas Brazil di Piala Dunia 1986, “Kau hanya perlu bola, hanya perlu sebuah saja…”
Maka bermainlah Felstead, karena toh setiap manusia sebenarnya – seperti dengan meyakinkan dipaparkan oleh Johan Huizinga dalam bukunya yang terkenal, Homo Ludens: A Study of the Play Element in Culture– adalah mahluk yang bermain, homo ludens; dan peperangan adalah  versi lain dari permainan. Sedihnya, kata Huizinga di halaman 201 bukunya itu, peperangan modern yang mengambil bentuk total-war telah terjerumus ke dalam “…old agonistic attitude of playing at war for the sake of prestige and glory.”
Inilah yang menyebabkan Huizinga, pada halaman 90 buku yang sama, menyebut bahwa peperangan modern “telah memadamkan sisa-sisa terakhir elemen permainan” (“extinguish the last vestige of the play-element“).
Felstead, dkk., mencoba menyalakan kembali sisa-sisa elemen permainan dalam peperangan itu, tapi upaya itu terlalu rapuh, dan langsung rontok hanya karena satu teriakan: “You came out to fight the Huns, not to make friends with them!”
Apa boleh buat….
Baca juga:

Sumber gambar: Myheartsisters.org

Museum Ronaldo di Seragam Sebuah Kesebelasan

Museum Ronaldo di Seragam Sebuah Kesebelasan
Ekonomi adalah motif di balik segala sesuatu di dunia ini. Ini juga yang terjadi di sepakbola. Perbedaan antara klub kecil dengan klub besar mungkin bisa kita selidiki secara cepat sekarang ini, sementara kesenjangan di antaranya justru semakin ketara saja.
Kesebelasan sepakbola sudah menjadi “Tuhan” bagi beberapa produk. Begitupun produk tertentu yang menjadi “dewa penyelamat” bagi kesebelasan sepakbola. Hal di atas adalah hukum utama dari sponsor.
Wajar jika kita menemukan, misalnya, Manchester City yang mendapatkan keuntungan berlipat setelah mereka menyepakati sponsor bersama Etihad Airways. Begitupun sebaliknya, sekarang ini Garuda Indonesia sudah banyak mengeksploitasi Liverpool (tim yang mereka sponsori) untuk mempromosikan maskapai penerbangan mereka.
Namun, bisakah Anda membayangkan jika saat ini pemain sepakbola sudah begitu memiliki pengaruhnya pada urusan sponsor di atas?
Untuk melihat hal di atas mungkin sudah biasa, tapi untuk melihat pemain sepakbola menjadi sponsor kaos kesebelasan, itu adalah hal yang aneh.
Ini terjadi lantaran klub menggaji pemain, bukan sebaliknya. Namun, bagi Cristiano Ronaldo, itu semua berbeda. Ia sudah memperkenalkan era baru dalam ekonomi di sepakbola.
Bintang Real Madrid yang baru memperoleh gelar Ballon d’Or ini sebelumnya memiliki museum dengan nama dirinya sendiri. Museum tersebut terletak di Madeira, kota kelahiran Ronaldo.
Sekarang ini, logo museumnya terpampang di dada pada seragam kesebelasan CF União, klub kampung halamannya di Madeira, Portugal. Logo putih pada seragam biru-kuning, seperti yang bisa Anda lihat pada gambar paling atas, tercetak jelas di seragam tim divisi ke dua tersebut.
Mereka bermain dengan mengiklankan “CR7 Museu”. Mengiklankan sebuah museum? Mengiklankan Cristiano Ronaldo? Atau keduanya?
Tidak jelas memang berapa banyak uang yang terlibat di sini, tapi bagaimana hal ini akan mempengaruhi merek Ronaldo? Merek Ronaldo sendiri, patut diakui antara ada dan tiada. Dengan semakin terkenalnya CR7, maka ia dengan sendirinya akan menjadi merek.
Mengingat sifat dari sponsor, Museum Ronaldo memiliki haknya sendiri. Namun mengapa Cristiano tidak mencoba untuk beriklan di seragam tim yang lebih besar, tim yang lebih dikenali secara global? Apakah karena dia mungkin memiliki hubungan untuk kesebelasan kota kelahirannya?
Berikut juga adalah patung Cristiano Ronaldo yang terletak di museumnya. Meskipun menurut kami proporsi patung ini tidak akurat, apalagi pada bagian tertentu di tubuhnya (ehem)… tapi ini bukan bidang keahlian kami untuk menilai estetika sebuah patung. Jadi dengan senang hati kami mempersilakan Anda semua untuk memutuskan.
Cristiano-Ronaldo-statue
Baiklah, kami tidak ingin terlalu berlarut-larut. Yang jelas sekarang ini Ronaldo sudah memiliki sebuah museum yang didedikasikan untuk dirinya sendiri, kemudian dia beriklan pada seragam kesebelasan lain.
Jika kita bertanya “Kenapa?”, maka jawabannya mudah: karena ia adalah pemain terbaik dunia. Sementara menjadi pemain terbaik dunia itu tidaklah mudah…

Sumber gambar: Getty Images

Cara Baru Membangun Pagar Betis dari OGC Nice

Cara Baru Membangun Pagar Betis dari OGC Nice
Lazim kita melihat kesebelasan yang membuat pagar betis saat terkena hukuman tendangan bebas di depan kotak penalti. Bahkan, praktik seperti ini bisa dibilang wajib. Pagar ini biasanya diatur oleh kiper yang bersiaga di bawah mistar. Pengaturan tersebut meliputi jumlah orang yang berdiri, posisi, jumlah pemain, hingga siapa yang seharusnya berdiri.
Tetapi ada satu kelemahan dalam cara konvensional ini, yakni meninggalkan lubang pada sudut pagar pemain. Penendang jempolan yang punya akurasi tinggi akan mudah menempatkan bola di atas pagar dengan kecepatan yang tepat. Bola menjadi sulit dijangkau kiper karena posisinya berada di tiang jauh atau sudut yang tidak tertutup pagar.
Memperbanyak jumlah pemain di pagar betis juga bukan solusi yang sepenuhnya tepat. Karena masih ada penyerang yang butuh pengawalan atau pemain yang bersiaga di depan untuk melakukan serangan balik. Kelemahan di atas sepertinya yang coba dipecahkan oleh tim cadangan (reserves) Liga Prancis, OGC Nice.
Caranya adalah dengan menempatkan kiper di depan sebagai pagar dan barisan pagar betis justru ada di belakang, seperti gambar di bawah. Ternyata taktik yang aneh tersebut berhasil menggagalkan tendangan bebas lawan. Lalu apakah cara ini efektif dilakukan dan dapat digunakan sebagai cara baru membentuk pagar? Mari kita bahas.
tendangan bebas normal
Pagar betis dan posisi kiper pada umumnya.
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, cara konvensional akan meninggalkan lubang di area yang tidak tertutup. Untuk mengantisipasinya, kiper biasanya akan berdiri di posisi nomor 2. Maka untuk mencetak gol, penendang akan menempatkan bola yang jauh dari kiper dan harus melewati pagar. Jika tepat kecepatan dan penempatannya kemungkinan berbuah gol akan tinggi.
Lalu, bagaimana jika kiper berada di posisi no 1? Cara ini justru lebih rawan kebobolan karena jika jumlah pagar kurang, karena harus mengawal pemain lain, lubang tadi akan lebih terbuka. Penendang tinggal mengarahkan bola ke kanan dan jauh lebih mudah karena tidak ada penghalang.
====================================================================

tendangan bebas tidak normal
Pagar yang dilakukan oleh OGC Nice. Kiper berada di depan, sedangkan pemain lain membentuk pagar betis di belakang.
Pada cara ini sudut tendangan justru berhasil tertutup amat baik oleh kiper. Meski jumlahnya hanya satu tetapi tidak berarti pagar ini lebih lemah, karena kiper dapat memakai seluruh anggota badannya. Bola yang mengarah ke atas atau samping dapat ia tepis lebih baik daripada pagar biasa. Jika lolos juga masih ada pagar lain yang berdiri di belakangnya. Pada kasus OGC Nice, bola dicungkil oleh penendang agar dapat melewati kiper. Namun karena dicungkil, bola menjadi pelan dan dapat dihalau dengan mudah oleh pagar di belakangnya.
Meski akhirnya berhasil, tapi cara ini sebenarnya juga ada kelemahan. Para pemain yang berkumpul di belakang membuat lawan menjadi bebas dari offside. Sehingga penendang sebenarnya punya banyak opsi untuk mengumpan bola daripada melakukan tembakan langsung. Mungkin saja ia sedang bingung karena menghadapi situasi yang memang tak biasa.

Bolehlah jika kita coba cara ini jika bermain sepakbola nanti. Tapi jika si penendang adalah Hakan Calhanoglu mungkin tetap tak akan berpengaruh.
Asalkan jangan mencoba membuat pagar betis seperti tim Brasil ini, karena akan membuat anda tampak konyol.

Ide cerita: The Telegraph

Cara Melakukan Prediksi Pertandingan Lewat Sains

Cara Melakukan Prediksi Pertandingan Lewat Sains
Sepakbola, seperti kebanyakan olahraga, adalah permainan yang penuh dengan kejutan dan keberuntungan. Tidak ada yang menyangka Bradford City bisa menundukkan Chelsea 4-2 di kandang Chelsea, apalagi setelah mereka tertinggal dua gol terlebih dahulu.
Juga tidak ada yang bisa memastikan FC Bayern Munich untuk menjadi juara Liga Champions 1998/1999 meskipun mereka sudah unggul 1-0 atas Manchester United sampai menit ke-91 (rasanya kami tidak perlu menjelaskan kisah selanjutnya kepada Anda).
Setelah semua hal yang terjadi, rasanya memang tidak mudah untuk memprediksi pemenang pertandingan sepakbola. Namun, tim ilmuwan mengatakan bahwa sepakbola sebenarnya pertandingan yang sederhana dalam hal statistik. Wow.
Sebelum Anda mengeritkan dahi, mengangkat alis, atau mengekspresikan bentuk keheranan dan ketidakpercayaan lainnya, sebaiknya Anda menempatkan diri Anda sebagai ilmuwan, dan menerima teori-teori di bawah ini sebagai hasil dari kecerdasan mereka pada bidang pendidikan mereka masing-masing, yang telah mereka peroleh dengan sulit dan juga dalam waktu yang panjang.
Mari kita mulai.
Kebugaran menjadi faktor penting
Untuk menunjukkannya, A. Heuer, C. Müller, dan O. Rubner, yang semuanya adalah fisikawan serta ahli kimia dari Universitas Münster di Jerman, telah menganalisis sepakbola melalui statistik. Keduanya telah menurunkan rumus fungsi yang dapat memprediksi hasil rata-rata yang diharapkan dari pertandingan dalam hal selisih gol antara kedua tim yang saling berhadapan.
Mereka menjelaskan bahwa pertandingan sepakbola setara dengan dua tim yang melempar dadu. Angka 6 berarti “gol”, dan jumlah tembakan dari kedua tim sudah ditetapkan sejak awal pertandingan, mencerminkan kebugaran masing-masing tim di musim itu. Semakin tinggi tingkat kebugaran, semakin banyak kesempatan tim bisa mencetak gol.
Cara menentukan tingkat kebugaran masing-masing tim adalah tugas utama dari analisis para ilmuwan. Untuk melakukan hal ini, para peneliti menganalisis data dari semua pertandingan sepakbola di Bundesliga Jerman antara musim 1977/78 sampai 2007/08 (kecuali untuk musim 1991/92). Selama itu, setiap tim memainkan 34 pertandingan setiap musimnya.
“Kami berusaha untuk menerapkan pendekatan yang khas dari fisika, misalnya analisis fungsi korelasi, hingga ukuran skala, dengan deskripsi hasil pada sepakbola,” kata Heuer. “Masalahnya adalah sangat mirip dengan karakterisasi biased random walks.”
Biased random walks adalah turunan dari ilmu kemotaksis. Ilmu ini adalah hasil pemilihan antara dua metode gerakan acak. Respon kemotaksis seperti lupa arah dan memilih gerakan, bisa dianggap sebagai kemampuan pengambilan keputusan dengan terlebih dulu memproses data sensorik.
Berdasarkan data, para ilmuwan menandai kebugaran tim sebagai selisih gol dalam pertandingan rata-rata dalam satu musim. Analisis para ilmuwan menunjukkan bahwa selisih gol adalah pengaruh yang lebih besar pada kebugaran tim dari jumlah gol.
Selain itu, berdasarkan hasil sebelumnya, keuntungan menjadi tuan rumah bisa diperhitungkan oleh tim secara bebas, tapi diperhitungkan oleh satu musim secara konstan. Secara keseluruhan, para peneliti menemukan bahwa tingkat kebugaran tim tetap konstan sepanjang musim, meskipun perubahan setiap musimnya terus terjadi.
Menggunakan data kebugaran di atas, para ilmuwan berhasil menghasilkan rumus untuk memperkirakan nilai yang diharapkan dari selisih gol dalam pertandingan tertentu. Jumlah aktual gol dalam pertandingan (seperti melempar dadu) dapat digambarkan sebagai proses Poissonian: peristiwa terjadi secara acak dan, untuk sebagian besar, adalah independen satu sama lain.
Setelah mengambil semua pertandingan yang dianalisis, distribusi gol yang ditentukan dengan cara ini hampir sempurna dan cocok dengan data aktual.
“Tiga hasil kunci adalah (1) pengamatan kebugaran tim konstan selama satu musim, (2) derivasi dari persamaan yang memprediksi hasil rata-rata pertandingan, dan (3) pengamatan bahwa distribusi gol yang sebenarnya bisa sangat baik dijelaskan oleh distribusi Poisson,”  seperti yang dijelaskan oleh Heuer.
Dalam teori probabilitas dan statistika, distribusi Poisson adalah distribusi probabilitas diskret yang menyatakan peluang jumlah peristiwa yang terjadi pada periode waktu tertentu apabila rata-rata kejadian tersebut diketahui dan dalam waktu yang saling bebas sejak kejadian terakhir.
Distribusi Poisson dapat diturunkan sebagai kasus terbatas pada distribusi binomial. Distribusi Poisson dapat diterapkan pada sistem dengan kejadian berjumlah besar yang mungkin terjadi, yang mana kenyataannya cukup jarang. Contoh klasik adalah pada peluruhan nuklir atom.
Permasalahan pada hasil imbang dan selisih satu gol
Meskipun rumus para peneliti dinilai akurat, para peneliti menemukan bahwa hal itu menjadi kurang akurat dalam kasus di mana selisih gol adalah satu atau nol. Secara khusus, dalam data real, ada nol yang lebih (dari hasil imbang) dari yang diperkirakan oleh persamaan, dan perbedaan satu gol lebih sedikit.
“Analisis data aktual masih menunjukkan kesalahan statistik jika menganalisis gol per tim,” kata Heuer. “Namun, ketika menganalisis distribusi perbedaan gol, hasil imbang sering terjadi.”
“Hal ini menunjukkan bahwa asumsi proses Poisson independen tidak benar dalam kasus dimana selisih gol adalah -1, 0, atau 1. Poin ini merujuk pada efek psikologis yang menarik, yaitu selalu mendukung hasil imbang,” lanjut Heuer.
Para peneliti juga mencatat bahwa ada efek acak lain yang mempengaruhi gol. Efek ini termasuk cedera, kelelahan, kondisi cuaca yang mendukung satu waktu di atas yang lain, kartu merah, dan apa yang disebut dengan efek self-affirmative, yaitu kemungkinan tim mencetak gol meningkat ketika tim tersebut telah mencetak satu atau lebih gol dalam pertandingan itu.
Meskipun pengaruh efek ini sangat sulit diprediksi, para peneliti menemukan bahwa efek ini memiliki dampak keseluruhan yang jauh lebih kecil pada hasil akhir dari pertandingan dibandingkan dengan perbedaan kebugaran di atas.
Angka ini membandingkan distribusi gol yang dihitung (tanda bintang berwarna hijau) dengan nilai yang sebenarnya (lingkaran terbuka). Rumus ini tepat, kecuali jika selisih gol adalah -1, 0, atau 1. Dalam kasus ini, data riil menunjukkan jumlah yang lebih besar dari hasil imbang, yang setara dengan jumlah yang lebih sedikit dari pertandingan dengan selisih satu gol. Ketidaksepakatan dapat menunjukkan efek psikologis yang menguntungkan hasil imbang. Sumber: A. Heuer, dkk.
Angka ini membandingkan distribusi gol yang dihitung (tanda bintang berwarna hijau) dengan nilai yang sebenarnya (lingkaran terbuka). Rumus ini tepat, kecuali jika selisih gol adalah -1, 0, atau 1. Dalam kasus ini, data riil menunjukkan jumlah yang lebih besar dari hasil imbang, yang setara dengan jumlah yang lebih sedikit dari pertandingan dengan selisih satu gol. Ketidaksepakatan dapat menunjukkan efek psikologis yang menguntungkan hasil imbang. Sumber: A. Heuer, dkk.
Sains: sepakbola itu mudah untuk diprediksi
Analisis juga memiliki efek menarik tentang bagaimana kita cenderung untuk melihat pertandingan sepakbola. Sebagai contoh, media sering akan berkomentar bahwa tim yang menang atau kalah bermain sangat baik atau buruk dalam pertandingan itu.
Sebaliknya, hasil di sini menunjukkan bahwa tingkat kebugaran tim tidak berubah banyak dari pertandingan ke pertandingan.
Namun, media (dan fans) mungkin memiliki kecenderungan kuat untuk menilai tingkat kebugaran tim berdasarkan pada hasil pertandingan. Sementara mereka mengabaikan efek acak yang mungkin menyebabkan hasil pertandingan itu sendiri.
Selain memprediksi hasil pertandingan sepakbola, analisis bisa berfungsi sebagai kerangka kerja untuk mengklasifikasikan berbagai jenis olahraga dalam hal tingkat daya saing. Misalnya, dalam olahraga dengan banyak poin seperti basket, efek acak mungkin kurang jelas, sehingga tim kuat memiliki kesempatan yang lebih baik untuk menang daripada olahraga dengan permainan dengan skor rendah.
Anda mungkin sudah keburu kepusingan membaca penjelasan para ilmuwan di atas. Kami sendiri tidak yakin sains bisa memprediksi hasil pertandingan, apalagi membuat model yang disamakan dengan pengundian dadu. Tapi, tidak ada salahnya untuk mencoba.


Sumber gambar: Driver Layer
Sumber jurnal: A. Heuer, C. Muller, and O. Rubner. Soccer: Is scoring goals a predictable Poissonian process? Europhysics Letters, 89 (2010) 38007. Doi:10.1209/0295-5075/89/38007

Perang Sepakbola dengan Sponsor Alkohol

Perang Sepakbola dengan Sponsor Alkohol
Alkohol jelas akan memberikan dampak buruk langsung jika dikonsumsi pemain sepakbola, namun kekhawatiran paling tinggi dari pengaruh alkohol justru pada penonton.
Sebelumnya, kami pernah membicarakan dampak alkohol atau birdi dalam artikel ini. Tidak seperti di Indonesia, di Eropa bir bukanlah hal yang tabu untuk dikonsumsi. Ini yang membuat bir dapat dengan mudah menjadi sponsor acara olahraga. Di Liga Inggris juga bir menjadi salah satu sumber pemasukan klub dan pengelola liga.
Hampir semua kesebelasan memiliki sponsor, baik sponsor utama maupun sponsor pendamping, dengan produk minuman beralkohol. Misalnya saja kesebelasan Everton dan Celtic yang mengiklankan bir pada seragam mereka.
Tapi, menurut laporan dari Guardian, baru-baru ini tim dokter menuntut larangan perusahaan alkohol untuk mensponsori kesebelasan dan acara olahraga karena mereka mengklaim bahwa hal tersebut bisa memicu praktek konsumsi alkohol bagi anak-anak di bawah umur.
Desakan dari dokter
Para pemimpin perawat serta spesialis dan dokter rumah sakit di Inggris mendesak para menteri untuk melarang jenis kesepakatan sponsor untuk mengiklankan bir di seragam kesebelasan sepakbola.
Dalam sebuah surat kepada Guardian, mereka menyerukan aksi ini karena mereka sudah melihat sponsor alkohol olahraga telah menjadi ” iklan yang biasa, seperti iklan untuk sereal atau sabun”.
Intervensi ini datang ketika jutaan penggemar olahraga mempersiapkan diri untuk menghadiri atau menonton televisi pada program Boxing Day yang umum di Inggris entah itu pada sepakbola, balap, dan rugbi. Seluruhnya telah membantu untuk mempromosikan minuman beralkohol.
Surat itu mengatakan: “Tidak kah seharusnya olahraga nasional menjadi inspirasi anak-anak untuk memimpin gaya hidup sehat dan positif? Hal ini akan dianggap keterlaluan jika tim-tim seperti Everton atau Celtic ada untuk menjadi brand ambassador untuk produk tembakau. Tapi ketika mereka mempromosikan alkohol, kenapa masih bisa diterima?”
Seperti yang kita tahu, Everton disponsori oleh produsen bir Chang dari Thailand sejak tahun 2004, dan awal tahun ini mereka menyetujui perpanjangan sponsor selama tiga tahun senilai 16 juta poundsterling.
Celtic juga mengikat kesepakatan sponsor dengan perusahaan Magners dari Irlandia, yang dilaporkan mencapai 1,5 juta poundserling setiap tahunnya.
Bersama dengan Glasgow Rangers juga, kedua kesebelasan disponsori sampai tahun lalu oleh bir merek Tennent. Bahkan, sebelumnya mereka juga secara bersamaan disponsori oleh Carling, yang juga merupakan merek bir. Kedua raksasa Skotlandia itu menolak untuk menanggapi surat tersebut.
Surat di atas mengklaim: “Iklan alkohol mendominasi acara olahraga yang menarik minat anak-anak dan orang dewasa. Hal ini tanpa sadar bisa menciptakan hubungan antara merek alkohol dan olahraga yang terakumulasi dan dibangun selama bertahun-tahun.”
Protes pada hubungan alkohol dan olahraga tersebut juga memberikan alasan bahwa, “bukti menunjukkan bahwa iklan alkohol menyebabkan remaja untuk minum lebih banyak dan juga minum pada usia lebih dini.”
Dengan melayangkan surat protes tersebut, mereka ingin pemerintah untuk campur tangan dan menggiring opini publik untuk mendukung lahirnya larangan iklan alkohol pada olahraga. “Mari mengambil tindakan untuk melindungi anak-anak kita dengan memastikan bahwa olahraga yang kita tonton mempromosikan dan menginspirasi gaya hidup sehat, bukan budaya minum. Mari kita membuat sponsor alkohol pada olahraga menjadi sesuatu dari masa lalu,” kata mereka.
“Bukti menunjukkan bahwa sponsor alkohol pada olahraga membuat anak sekolah dan olahragawan untuk minum lebih banyak. Mengingat ratusan ribu poundsterling disalurkan oleh sponsor, tidak mengherankan mereka mampu meningkatkan penjualan,” kata Katherine Brown, direktur Institute of Alcohol Studies.
“Sudah jelas bahwa anak-anak tumbuh memuja pahlawan olahraga dengan merek bir di dada mereka sehingga akan mengembangkan sikap positif yang mengakar terhadap tradisi minum. Juga jelas bahwa profil tinggi iklan alkohol bekerja untuk menormalkan hubungan yang sebenarnya tidak wajar antara minum dan olahraga,” tambah Brown.
Sebelumnya, Prancis telah melarang sponsor alkohol olahraga sejak tahun 1991. Pembatasan tersebut nyatanya tetap membuat Prancis berhasil membuat acara olahraga yang besar, seperti sepakbola dan Piala Dunia rugbi.
“Hal ini menunjukkan alkohol tidak berarti keharusan untuk sukses dalam olahraga,” lanjut Brown. Rusia, Ukraina, dan Norwegia juga telah memiliki larangan tersebut. Sementara Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, dan Republik Irlandia sedang mempertimbangkan hal tersebut.
Halaman 1 2 3